Tokobuku.co.id – Masih ingat kan, serial Black Mirror? Perlu kamu ketahui, serial Black Mirror bisa kamu tonton acak karena satu sama lain tak terhubung, daripada kalian bingung maka akan saya review Black Mirror ini.
Dan inti dari setiap ceritanya bahwa Charlie—penulis Black Mirror ingin menunjukkan dampak dari penggunaan kemajuan teknologi. Yang lebih ke dampak buruknya.
Pada episode The Waldo Moment, Charlie mencoba menceritakan dampak buru internet dalam bingkai drama ruang publik politik. Sebelumnya, sudah saya bilang berkali-kali, ya. Bahwa review Black Mirror yang saya tulis lebih ke analisis. Bukan ke review (ulasan). Jadi, kalau kamu belum nonton, lebih baik nonton dulu aja, deh di Netflix. Selanjutnya boleh lah ya, membaca tulisan saya.
Lihat Juga: Cara Merubah File PDF ke Word Tanpa Aplikasi
So, what is exactly point that will explain by Charlie in this episode?
Mari telaah dulu. Sebenarnya, The Waldo Moment menceritakan tentang apa sih?
Black Mirror Season 2 Episode 3
Episode terakhir dari seri season 2 Black Mirror ini menceritakan tentang sosok kartun digital berwarna biru nan mungil. Sebutlah ia Waldo. Di dunia digital, seringnya Waldo membicarakan dengan frontal mengenai dunia perpolitikan yang satire.
Ciri khas dari Waldo memang sejak awal mendapat tugas memberikan pertanyaan-pertanyaan lucu, aneh, mengesalkan dan bahkan sebetulnya sebuah pertanyaan yang tak pantas di lontarkan kepada para politisi. Tujuannya untuk mengerjai orang-orang dengan karakter seperti itu.
Pengisi suara Waldo bernama Jamie Slater (di perankan oleh Daniel Rigby)–seorang komedian. Dengan kecanggihan teknologi yang ada, Waldo dioperasikan (digerakkan) dengan sebuah alat canggih yang modern oleh para tim kreatif.
Nah. Pada sebuah acaranya, Waldo mendatangkan bintang tamu seorang politikus, kandidat anggota parlemen dari Inggris bernama Liam Monroe. Berkat sikap ceplas-ceplos dan apa adanya dari si Waldo, tak disangka, melalui Monroe, Waldo memperoleh sebuah tawaran tak tanggung-tanggung—mempunyai acara sendiri. Bahkan karakter Waldo digambarkan telah memenuhi standar keidealan menurut rakyat.
Seperti biasa. Tentu yang di cari tim kreatif adalah kepopuleran seorang tokoh, bukan? Dan tak lain demi meraup untung. Untuk itu, semua anggota tim kreatif sepakat bersama untuk mengadakan kampanye Waldo untuk menjadi anggota parlemen—menyaingi Monroe.
Artikel Lainnya: Yuk Pelajari, 7 Perilaku Konsumen di Bulan Ramadhan
Karakter Waldo Ketika Berpolitik
Tak disangka-sangka, sejak itu Waldo menciptakan dampak yang besar setelahnya. Ia semakin banyak orang yang mengikuti, semakin populer dan semakin terkenal. Waldo pun berhasil merebut suara mayoritas di dunia politik. Tentu ini juga bagian dari dampak kemajuan teknologi di dunia maya.
Fitur likes dan love yang didapatkan Waldo dari masyarakat ternyata hampir mengalahkan suara Monroe. Seperti telah membuat kesan bahwa Waldo memang menjadi kandidat kuat untuk menjadi Parlemen.
Mengagetkan, kan, karakter imajiner diinginkan rakyat sebagai kandidat parlemen?
Pemain Waldo di belakang—Jamie, jelas sekali menolak hal paradoks ini. Bagaimana tidak? Dia tak mengerti dunia politik sama sekali. Pekerjaan Jamie hanya seorang komedian. Toh, boneka digital Waldo hanya digerakkan oleh tim di belakang layar.
Tapi memang inilah kesamaan Waldo dengan kandidat parlemen lain—termasuk Monroe. Keduanya sama-sama di gerakkan “tim di belakang layar”. Yang membedakan, jika kandidat parlemen banyak omong kosongnya, Waldo justru jujur dan apa adanya. This is what public want: kejujuran.
Dalam buku teman imaji berkata, satu-satunya hal berharga yang kita miliki sekarang adalah kejujuran.
Memang benar. Rakyat mulai muak dengan para kandidat politik yang terlalu banyak omong kosong. Rakyat menginginkan pemimpin yang ya, seperti Waldo. tak banyak bersilat lidah, jujur dan apa adanya.
Saking muaknya rakyat dengan pemimpin yang penuh omong kosong, mereka jadi menginginkan pemimpin seperti Waldo. Tak peduli Waldo hanya sekadar boneka beruang digital. Tak peduli Waldo hanya di gerakkan oleh tim di belakang layar. Bahkan oleh seorang komedian sekalipun.
Seram juga jika suatu rakyat menginginkan pemimpin yang ideal, tak peduli dia nyata atau imajiner seperti Waldo. Dan parahnya, Waldo di gerakkan seorang komedian yang sebenarnya he doesn’t know anything about politics.
Waldo Dan Kepopuleran di Sosial Media.
Ini tak jauh berbeda ketika suami saya kemarin sempat menonton Youtube Pandji. Pandji bilang, banyak DM yang masuk di akun sosial medianya, ahwa Pandji dimintai pendapat soal penyakit corona, dan bagaimana cara mengatasi corona.
Dalam videonya Pandji justru jujur bahwa dia tak berhak untuk menyampaikan pendapat. Dia hanya seorang komedian, seorang pelawak. Bukan orang seorang tenaga medis.
Itu karena, dia lebih populer ketimbang seorang medis yang mungkin paling ahli sekalipun.
Sama seperti Waldo. Karena dia lebih populer sebab terlihat jujur dan terlihat ideal, akhirnya dia diinginkan untuk menjadi tokoh politik. Padahal yang menggerakkan Waldo di belakang layar tak paham apa-apa soal politik. Hanya seorang komedian yang kerjaan sebenarnya adalah ngelawak.
Baca Juga: Yuk, Bisnis di Bulan Ramadhan! Cari Untung dan Berkahnya